Dalam
tulisan saya beberapa waktu yang lalu tentang kontroversi
cara baptisan air sempat disinggung bahwa salah satu
hal yang dipersoalkan di sekitar baptisan air adalah
“siapakah yang layak dibaptiskan?” Sebagian
orang/gereja menerima dan melaksanakan pembaptisan anak-anak
(seperti GMIT) sedangkan sebagian yang lain menolaknya
(biasanya dari denominasi-denominasi Pentakosta-Kharismatik)
dan menganggapnya sebagai suatu praktek yang tidak Alkitabiah
dan merupakan pelanggaran yang serius terhadap Firman
Allah. Untuk itu kita akan membahas persoalan ini juga
dalam beberapa hari ini dan tentu saja dasar utama pembahasan
ini adalah Alkitab yang adalah Firman Allah.
Sebelum kita membahas hal ini lebih jauh, mungkin pertanyaan
pertama yang perlu kita ajukan adalah apakah Alkitab
sama sekali tidak membicarakan baptisan anak-anak? Untuk
menjawab pertanyaan ini baiklah kita melihat ayat 1
Kor 10:1-2 : “Aku mau, supaya kamu mengetahui,
saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada
di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah
melintasi laut. Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua
telah dibaptis dalam awan dan dalam laut”. Ayat
ini berkata bahwa yang dibaptis adalah nenek moyang
bangsa Israel. Nenek moyang yang mana? Nenek moyang
yang ikut keluar dari tanah Mesir. Lalu siapa sajakah
yang ikut keluar dari tanah Mesir itu? Kel 12:37 berkata
: “Kemudian berangkatlah orang Israel dari Raamses
ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki
berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak” Jadi
rupanya yang ikut keluar dari tanah Mesir adalah anak-anak
juga. Memang ayat itu berkata “tidak termasuk
anak-anak” tetapi maksudnya tidak termasuk yang
dihitung bukan tidak termasuk yang keluar dari Mesir.
Kalau anak-anak juga termasuk dari yang keluar dari
tanah Mesir, maka tentu mereka juga termasuk ke dalam
yang ikut dibaptis dalam awan dan dalam laut seperti
yang dicatat dalam I Kor 10:1-2. Walaupun baptisan di
sini tidak berbicara tentang baptisan Kristen, tetapi
minimal kita dapat melihat bahwa Alkitab bercerita tentang
adanya baptisan terhadap anak-anak.
Teologia Perjanjian (Covenant Theology)
Untuk memahami masalah baptisan anak ini lebih dalam,
kita perlu membawa pemikiran kita kepada konsepsi tentang
sunat dan Perjanjian Allah dalam Perjanjian Lama. Mengapa?
Karena sesungguhnya dalam konsep inilah terletak dasar
dari baptisan anak-anak seperti apa yang dikatakan oleh
Harun Hadiwijono : “Harus diakui, bahwa tidak
ada nats dalam PB yang dengan jelas memerintahkan baptisan
anak. Menurut kami, yang menjadi dasar baptisan anak
memang bukanlah beberapa ayat dari PB, juga bukan iman
anak yang dibaptis melainkan ajaran tentang perjanjian
Tuhan Allah yang diberikan kepada orang tua dan kepada
anak-anaknya” (Iman Kristen, Jakarta, BPK. Gunung
Mulia, 1997 : 451).
Sekarang marilah kita menyimak apa yang dikatakan Gal
3:13-14 : “Kristus telah menebus kita dari kutuk
hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita,
sebab ada tertulis : “Terkutuklah orang yang digantung
pada kayu salib!” Yesus Kristus telah membuat
ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada
bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima
Roh yang telah dijanjikan itu”. Pertanyaan pertama
yang patut kita ajukan setelah membaca ayat ini adalah
“apa itu berkat Abraham?” Atau “apa
isi berkat Abraham itu?” Hal ini penting karena
demi sampainya berkat itu kepada bangsa-bangsa lain
(kita) Yesus Kristus bersedia menjadi kutuk di atas
kayu salib. Yesus Kristus rela mati demi berkat itu.
Mari perhatikan lagi Galatia 3:26 : “Sebab kamu
semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus
Kristus” dan ayat 29 : “Dan jikalau kamu
adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan
Abraham dan berhak menerima janji Allah”. Di sini
kita bisa melihat bahwa ketika kita percaya pada Yesus
Kristus, secara rohani kita juga adalah keturunan Abraham
dan dengan demikian kita berhak untuk menerima janji
Allah itu. Janji apa itu? Itulah janji yang ada di dalam
berkat Abraham. Sekarang marilah kita melihat isi dari
janji itu dan dengan demikian kita harus kembali kepada
kitab Kejadian pasal 17 di mana Allah mengadakan perjanjian
dengan Abraham. Lihatlah ayat 7 : “Aku akan mengadakan
perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun
menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu
dan Allah keturunanmu” Jadi rupanya berkat Abraham
yang juga diterima oleh kita yang percaya kepada Kristus
Yesus yang olehnya Yesus rela menjadi kutuk di atas
salib adalah sebuah berkat rohani (Beberapa kalangan
merasa bahwa janji ini hanyalah sebuah janji yang bersifat
nasional dan duniawi saja, namun sesungguhnya tidaklah
demikian. Sifat spiritual dari perjanjian ini dibuktikan
dengan cara di mana janji-janjinya ditafsirkan dalam
Perjanjian Baru : Roma 4:16-18; II Kor 6:6-18; Gal 3:8,9,14,16;
Ibr 8:10; 11:9,10,13) yaitu agar Allah menjadi Allah
Abraham dan Allah keturunannya. Yesus rela menjadi kutuk
di atas kayu salib agar Allah dapat menjadi Allah bagi
Abraham dan keturunannya termasuk kita yang adalah keturunan
Abraham secara rohani.
Selanjutnya untuk meneguhkan janji itu Allah memberikan
suatu ordinasi yang harus dilakukaan oleh Abraham dan
keturunannya yakni ordinasi sunat. Kej 17:10 berkata
: “Inilah perjanjian-Ku yang harus kamu pegang,
perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu
setiap laki-laki di antara kamu harus disunat”.
Sunat di sini adalah lambang dari perjanjian rohani
itu serta materai kebenaran berdasarkan iman. Roma 4:11
berkata : “Dan tanda sunat itu diterimanya sebagai
materai kebenaran berdasarkan iman yang ditunjukkannya,
sebelum ia bersunat…” Jika sunat ini adalah
materai kebenaran berdasarkan iman, maka setiap orang
yang disunat dimasukkan atau terhisap ke dalam perjanjian
kekal ini atas dasar iman. Sekarang persoalannya adalah
bahwa yang disunat adalah anak laki-laki yang berusia
delapan hari (Kej 17:12). Dengan kata lain yang disunat
ini adalah bayi yang belum mengerti apa-apa tentang
masalah iman dan belum bisa beriman dari dirinya sendiri.
Kalau begitu mengapa ia perlu disunat? Sebab itu adalah
perintah Allah. Menolak menyunatkan seorang anak hanya
karena ia belum bisa beriman adalah melawan perintah
Allah.
Setelah Kristus Yesus menjadi kutuk di atas kayu salib
agar berkat Abraham yakni perjanjian rohani ini diterima
oleh kita selaku keturunan Abraham secara rohani, maka
kita perlu disunat dengan sunat Kristus yakni baptisan.
Kolose 2:11-12 berkata : “Dalam Dia kamu telah
disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia,
tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan
akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan
dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan
juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang
telah membangkitkan Dia dari orang mati”. Dengan
demikian di dalam Perjanjian Baru kedudukan sunat telah
digantikan dengan baptisan.
Sekalipun tanda atau ordinasi sunat itu telah digantikan
dengan tanda atau ordinasi baptisan, namun perlu diingat
bahwa perjanjian yang ditandai itu bersifat kekal. Dengan
pengertian semacam ini maka kita dapat melihat kedudukan
baptisan anak-anak dalam kerangka perjanjian Allah itu.
Jika dalam ordinasi sunat (yang adalah materai kebenaran
berdasarkan iman) seorang bayi berumur delapan hari
yang nota bene belum bisa beriman dari dirinya sendiri
boleh dan bahkan harus disunat, maka bukankah hal itu
dapat berlaku juga dalam ordinasi baptisan di mana seorang
anak yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri boleh
bahkan harus dibaptiskan? Jika dalam ordinasi sunat
seorang anak yang belum bisa beriman dari dirinya sendiri
dapat disunat dan masuk ke dalam perjanjian kekal itu
atas dasar kepercayaan Abraham, bukankah dalam ordinasi
baptisan seorang anak yang belum bisa beriman dari dirinya
sendiri dimasukkan dalam keluarga Allah atas dasar kepercayaan
orang tuanya? Ingatlah bahwa ini adalah kebenaran yang
bersifat kekal! Dengan melihat semua argumentasi ini
maka rasanya kita tidak dapat menolak doktrin pembaptisan
anak-anak begitu saja.
|